24 Agu 2017

Review Buku Dagelan Mataram

Dagelan Mataram: Apresiasi Masyarakat Yogyakarta
Soepomo Poejosoedarmo
Soeprapto Budi Santosa

            Tulisan ini merupakan suntingan dari laporan penelitian Soepomo Poejosoedarmo dan Soeprapto Budi Santosa tentang tingkat penerimaan masyarakat Yogyakarta terhadap bentuk kesenian Dagelan Mataram. Dagelan Mataram adalah bentuk kesenian “lawak” yang mulanya lahir di dalam Kraton Yogyakarta sebagai hiburan bangsawan dengan nama oceh-ocehan. Soepomo dan Soeprapto mencirikan kesenian Dagelan Mataram sebagai berikut: a) mengandung cerita tertentu, b) memakai bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar, c) materi cerita diangkat dari kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa, d) diiringi gamelan dan sinden sebagai ilustrasi, e) kadang-kadang memakai tari-tarian, f) pemain kadang-kadang menyanyikan tembang, g) memakai kostum pakaian Jawa gaya Surakarta atau dari pakaian kesenian lain seperti ketoprak atau wayang orang. Selain cirri-ciri di atas, tradisi dan tata krama Jawa terutama Yogyakarta juga memberi warna sendiri bagi kesenian ini.
            Perkembangan Dagelan Mataram hingga penelitan ini dilakukan menurut Soepomo dan Soeprapto terkena adanya pengaruh-pengaruh budaya “barat” hingga menggeser kedudukannya di masyarakat. Bukan saja dari kesenian lain, tetapi genre kesenian yang sejenis dengan Dagelan Mataram hadir dengan kemasan yang ke barat-barat-an serta mengikuti perkembangan jamannya. Meski demikian melihat kehidupan Dagelan Mataram yang pernah masuk dapur rekaman, dapat dinyatakan bahwa sebenarnya kesenian ini mempunyai peminat yang relatif besar. Hal tersebut menurut Soepomo dan Soeprapto merupakan dasar dilakukannya penelitian ini. Sebagai pertanyaannya adalah, sejauh mana penerimaan masyarakat Yogyakarta terhadap Dagelan Mataram, faktor-faktor apa saja yang menjadi penopang penerimaan itu, serta pengaruh Basiyo – seorang tokoh kesenian ini – bagi Dagelan Mataram.
Latar yang digunakan Soepomo dan Soeprapto dalam penelitian ini adalah masyarakat, siaran radio, studio rekaman, dan kehidupan pemain Dagelan Mataram. Meski tulisan Soepomo dan Soeprapto merupakan deskripsi sementara dari kehidupan Dagelan Mataram tetapi diharapkan mampu memberikan gambaran tentang kedudukan Dagelan Mataram dalam masyarakat.
Awal dari lahirnya Dagelan Mataram adalah ketika bangsawan kraton Yogyakarta yakni, GP Hangabehi yang mempunyai abdi dalem oceh-ocehan. Tugas dari abdi dalem ini adalah menghibur dan membuat tertawa yang melihat. Selain lucu dalam beraktivitas, cacat tubuh dan kelucuan tubuh alamiah merupakan unsur yang tidak kalah penting. Oceh-ocehan hadir dalam upacara dalam kraton seperti perkawinan dan hari kelahiran GP Hangabehi. Mulanya Dagelan ini merupakan selingan acara uyon-uyon yang disiarkan radio MAVRO milik GP Hangabehi yang akhirnya acara tersebut disebut sebagai “Dagelan Mataram”. Bentuk-bentuk kesenian seperti ini juga dapat dijumpai pada jenis kesenian ketoprak tetapi dengan porsi yang lebih sedikit dan hanya bagian dari satu alur cerita. Perkembangannya lelucon seperti ini mendapat porsi yang lebih hingga terdapat kelompok ketoprak Mardi Wandowo yang menemptkan lelucon sebagai pertunjukan awal sebelum pertunjukan inti diselenggarakan dan disebut “ Ketawa Sebentar”.
Dampak diadakannya siaran di MAVRO, terdapat kelompok “Dagelan Mataram” diluar MAVRO, untuk membedakan dengan kelompok luar tersebut Prasuprojo menambahkan nama Dagelan Mataram “Kuping Hitam”. Siaran dilakukan hingga masa kemerdekaan melalui radio RRI Yogyakarta hingga anggotanya menjadi Unit Kesenian Jawa RRI Yogyakarta hingga dikenal sebagai “Dagelan Mataram RRI Yogyakarta”. Bersamaan dengan munculnya Dagelan Mataram, muncul pula kelompok-kelompok “dagelan” lain yang mempunyai “motif” hampir sama dengan Dagelan Mataram berikut fungsi dan perannya. Seperti halnya kehidupan kesenian tradisi, dalam Dagelan Mataram dapat berganti-ganti pemain meski dari lain group.
Guna mengetahui seluk beluk pemain Dagelan Mataram, meski dalam tulisan Soepomo dan Soeprapto dipaparkan satu persatu tentang tokoh yang terlibat didalamnya, dalam review ini hanya akan merangkum tokoh secara umum. Sebagian besar dari pemain Dagelan Mataram adalah orang berpendidikan yang pada akhirnya berperan terhadap penampilan di atas pentas. Seniman yang berpendidikan tinggi biasanya akan dijadikan “jago” dan mudah adaptasi dengan komunitasnya. Seperti dijelaskan di awal bahwa para pemain Dagelan Mataram sering mealkukan siaran dan rekaman baik untuk dijual atau sponsor obat-obatan. Studio yang digunakan sebagai rekaman antara lain: Yukawi dan Remaco di Jakarta, Lokananta, Fajar, Santosa, Firgo Ramayana, Panti Punakawan, El- Sinta, Irama Mas, Wisanda dan Konservatori di Solo, Kusuma di Klaten. Untuk komersial rata-rata para pemain menandatangani kontrak Rp 10.000 hingga Rp 100.000. Selain pentas rutin guna penerangan terhadap masyarakat, para pemain juga melayani pementasan umum. Mereka pentas di bulan-bulan tertentu yang dianggap baik bagi orang Jawa.
Bagi para pemain, masalah yang sering dihadapi adalah bagaimana mengantisipasi penonton. Menurut mereka penonton di masa-masa lalu lebih mudah untuk dihibur dengan umpan-umpan yang mudah mereka sudah tertawa. Tidak demikian dengan penonton sekarang – mungkin ketika penelitian ini dilakukan – sangat sulit untuk menjadikan mereka tertawa dan dirasa lebih sukar. Materi-materi lawakan yang digunakan untuk pentas biasanya tidak memerlukan latihan terlebih dahulu, tetapi hanya mempelajari cerita secara garis besar. Hal ini dikarenakan materi sudah hafal dan tinggal menginterprestasikan kembali. Apabila dibandingkan dengan ketoprak, dagelan lebih luwes,karena tidak muthlak memerlukan musik pengiring dan tidak memerlukan tempat yang luas selain itu pula dari segi ekonomi, Dagelan lebih menjajikan dibandingkan dengan pendapatan dari bermain ketoprak.
Dagelan Mataram telah terdokumentasi di studio-studio rekaman. Hal tersebut dilatarbelakngi pula, adanya masyarakat pendukung Dagelan Mataram. Meski terbatas jumlahnya, tetapi fakta ini menunjukan eksistensi dari Dagelan Mataram. Terdapat beberapa studio yang digunakan sebagai objek penelitian Soepomo dan Soeprapto. Studio tersebut antara lain adalah Irama Nusantara dan Cokro. Pemaparan secara umum, penjualan kaset Dagelan Mataram mencapai 3000 buah dengan omset penjualan terbesar 10.000 ribu buah pada periode Djunaidi. Keterbatasan ini adanya faktor-faktor eksternal seperti sistem pembajakan serta terbatasnya masyarakat peminat Dagelan Mataram yang notabene adalah masyarakat Jawa. Sedangkan faktor internal adalah kemampuan seniman yang oleh perusahaan dinilai menurun dari tahun pertahun. Selain sebab di atas kejenuhan pasar juga menjadi sebab utama. Alasan-alasan tersebut membuat beberapa perusahaan menanggalkan kontraknya untuk Dagelan Mataram.
Kehidupan Dagelan Mataram ternyata tidak sebatas pada rekaman kaset-kaset pita tetapi tidak lepas pula terhadap radio-radio yang ada di Yogyakarta. Hasil-hasil siaran di radio Yogyakarta merupakan aspek yang perlu dikaji sebagai bukti eksistensi Dagelan Mataram. Adapun radio-radio yang menjadi objek dalam penelitian Soepomo dan Soeprapto adalah sebagai berikut RRI Nusantara II Yogyakarta, Prima Unisi, Redjo Buntung, EMC, Geronimo, Bikima, Rasia Lima, RAM, Suara Mataram, PTDI Kota Perak, Yasika AK II dan radio Suara Istana. Hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukan bahwa terdapat radio yang menyiarkan Dagelan Mataram setiap hari sekali, lima radio menyiarkan Dagelan Mataram satu kali setiap minggu, satu radio menyiarkan Dagelan Mataram satu kali daalm dua minggu satu radio sama sekali tidak menyiarkan Dagelan Mataram. Siaran dalam “bentuk hidup” hanya dilaksanakan dua radio yakni RRI dan Rejo Buntung. Selain RRI, motivasi utama penyiaran Dagelan Mataram umunya mendapat keuntungan finansial dari pihak sponsor.
Berdasarkan siaran radio seniman-seniman Dagelan Mataram menurut popularitasnya diurutkan sebagai berikut: Basiyo, Bu Basiyo, Ngabdul, Hardjo Gepeng, Kapuk, Suparmi, Prapti, Prapto, Poniman, Darsono, Djunaidi, dan Marsidah. Umumnya siaran Dagelan Mataram mendapat sambutan baik dari masyarakat, dan notabene para penikmat Dagelan Mataram adalah orang tua yang tingkat pendidikannya menengah dan rendah. Bagi seniman Dagelan Mataram, paling tidak ada dua manfaat bagi keterlibatannya dalam siaran radio. Manfaat tersebut antara lain adalah pertama seniman akan memperoleh imbalan uang atas rekaman cerita yang diperlukan sponsor untuk memenuhi kebutuhan siaran. Manfaat kedua seniman akan memperoleh imbalan uang atas rekaman cerita yang diperlukan sponsor untuk menjalin hubungan dengan masyarakat sehingga menghasilkan masyarakat yang khas dan sesuai dengan karakteristik Dagelan Mataram.
Perlu digaris bawahi dalam bahasan ini adalah keberadaan tokoh Basiyo. Tokoh tersebut merupakan ikon dari Dagelan Mataram. Seperti disebutkan Soepomo dan Soeprapto di awal, bahwa Dagelan Mataram adalah Dagelan Basiyo. Hal ini tidak dapat lepas dari peran Basiyo sebagai seniman senior di Dagelan Mataram. Meski ketika penelitian ini dilakukan Basiyo sudah meninggal tetapi jejak-jejak yang beliau tinggalakan masih diacu generasi selanjutnya. Sepeninggalan Basiyo ternyata tidak mengurangi tingkat penjualan kaset Dagelan Mataram dan perusahaan tidak menerima dampak dari meninggalnya Basiyo.
Guna mengetahui tingkat penerimaan masyarakat Yogyakarta dalam menerima Dagelan Mataram, Soepomo dan Soeprapto meneliti beberapa masyarakat dengan latar belakang yang berbeda. Mereka dikelompokan menjadi enam kategori yaitu 1) pekerja kasar, 2) pedagang, 3) mahasiswa, 4) pegawai dan ibu rumah tangga, 5) pelajar elite dan 6) pelajar slump. Soepomo dan Soeprapto dalam hal pemilihan ini, menyertakan sekilas tentang latar belakang masyarakat yang diteliti. Beberapa hasil penelitian mengenai tingkat penerimaan Dagelan Mataram di masyarakat. Masyarakat menyatakann Dagelan Mataram meski dalam penampilannya dianggap kesenian yang ketinggalan jaman dan kalah dengan kesenian sejenis yang lebih mengikuti perkembangan jaman tetapi masih perlu dihargai sama dengan kesenian lainnya.
Seperti halnya penelitian Musik Populer oleh Sunyoto Usman, penelitian ini penulis kira memerlukan kerja keras dan mental tidak bosan dalam melakukannya. Ada korelasi antar bab dan “dituturkan” dengan cukup jelas. Ada beberapa hal yang belum Nampak, misalkan untuk batasan penikmat antara penonton Dagelan Mataram masa lalu dan masa kini perlu adanya periodesasi sehingga jelas batasannya. Penulisan tokoh Basiyo sebagai tokoh sentral layaknya perlu dihadirkan konstribusinya, meski ketika penelitian ini, Basiyo sudah meninggal.

           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar