Dagelan
Mataram: Apresiasi Masyarakat Yogyakarta
Soepomo Poejosoedarmo
Soeprapto Budi Santosa
Tulisan ini merupakan suntingan dari laporan penelitian Soepomo
Poejosoedarmo dan Soeprapto Budi Santosa tentang tingkat penerimaan masyarakat
Yogyakarta terhadap bentuk kesenian Dagelan Mataram. Dagelan Mataram adalah
bentuk kesenian “lawak” yang mulanya lahir di dalam Kraton Yogyakarta sebagai
hiburan bangsawan dengan nama oceh-ocehan.
Soepomo dan Soeprapto mencirikan kesenian Dagelan Mataram sebagai berikut: a)
mengandung cerita tertentu, b) memakai bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar, c)
materi cerita diangkat dari kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa, d)
diiringi gamelan dan sinden sebagai ilustrasi, e) kadang-kadang memakai
tari-tarian, f) pemain kadang-kadang menyanyikan tembang, g) memakai kostum
pakaian Jawa gaya Surakarta atau dari pakaian kesenian lain seperti ketoprak
atau wayang orang. Selain cirri-ciri di atas, tradisi dan tata krama Jawa
terutama Yogyakarta juga memberi warna sendiri bagi kesenian ini.
Perkembangan
Dagelan Mataram hingga penelitan ini dilakukan menurut Soepomo dan Soeprapto
terkena adanya pengaruh-pengaruh budaya “barat” hingga menggeser kedudukannya
di masyarakat. Bukan saja dari kesenian lain, tetapi genre kesenian yang sejenis
dengan Dagelan Mataram hadir dengan kemasan yang ke barat-barat-an serta mengikuti perkembangan jamannya. Meski
demikian melihat kehidupan Dagelan Mataram yang pernah masuk dapur rekaman,
dapat dinyatakan bahwa sebenarnya kesenian ini mempunyai peminat yang relatif
besar. Hal tersebut menurut Soepomo dan Soeprapto merupakan dasar dilakukannya
penelitian ini. Sebagai pertanyaannya adalah, sejauh mana penerimaan masyarakat
Yogyakarta terhadap Dagelan Mataram, faktor-faktor apa saja yang menjadi
penopang penerimaan itu, serta pengaruh Basiyo – seorang tokoh kesenian ini –
bagi Dagelan Mataram.
Latar yang digunakan Soepomo dan
Soeprapto dalam penelitian ini adalah masyarakat, siaran radio, studio rekaman,
dan kehidupan pemain Dagelan Mataram. Meski tulisan Soepomo dan Soeprapto
merupakan deskripsi sementara dari kehidupan Dagelan Mataram tetapi diharapkan
mampu memberikan gambaran tentang kedudukan Dagelan Mataram dalam masyarakat.
Awal dari lahirnya Dagelan Mataram
adalah ketika bangsawan kraton Yogyakarta yakni, GP Hangabehi yang mempunyai
abdi dalem oceh-ocehan. Tugas dari abdi dalem ini adalah menghibur dan membuat
tertawa yang melihat. Selain lucu dalam beraktivitas, cacat tubuh dan kelucuan
tubuh alamiah merupakan unsur yang tidak kalah penting. Oceh-ocehan hadir dalam
upacara dalam kraton seperti perkawinan dan hari kelahiran GP Hangabehi.
Mulanya Dagelan ini merupakan selingan acara uyon-uyon yang disiarkan radio MAVRO milik GP Hangabehi yang
akhirnya acara tersebut disebut sebagai “Dagelan Mataram”. Bentuk-bentuk
kesenian seperti ini juga dapat dijumpai pada jenis kesenian ketoprak tetapi
dengan porsi yang lebih sedikit dan hanya bagian dari satu alur cerita.
Perkembangannya lelucon seperti ini mendapat porsi yang lebih hingga terdapat
kelompok ketoprak Mardi Wandowo yang menemptkan lelucon sebagai pertunjukan
awal sebelum pertunjukan inti diselenggarakan dan disebut “ Ketawa Sebentar”.
Dampak diadakannya siaran di MAVRO,
terdapat kelompok “Dagelan Mataram” diluar MAVRO, untuk membedakan dengan
kelompok luar tersebut Prasuprojo menambahkan nama Dagelan Mataram “Kuping
Hitam”. Siaran dilakukan hingga masa kemerdekaan melalui radio RRI Yogyakarta
hingga anggotanya menjadi Unit Kesenian Jawa RRI Yogyakarta hingga dikenal
sebagai “Dagelan Mataram RRI Yogyakarta”. Bersamaan dengan munculnya Dagelan
Mataram, muncul pula kelompok-kelompok “dagelan” lain yang mempunyai “motif”
hampir sama dengan Dagelan Mataram berikut fungsi dan perannya. Seperti halnya
kehidupan kesenian tradisi, dalam Dagelan Mataram dapat berganti-ganti pemain
meski dari lain group.
Guna mengetahui seluk beluk pemain
Dagelan Mataram, meski dalam tulisan Soepomo dan Soeprapto dipaparkan satu
persatu tentang tokoh yang terlibat didalamnya, dalam review ini hanya akan
merangkum tokoh secara umum. Sebagian besar dari pemain Dagelan Mataram adalah
orang berpendidikan yang pada akhirnya berperan terhadap penampilan di atas
pentas. Seniman yang berpendidikan tinggi biasanya akan dijadikan “jago” dan
mudah adaptasi dengan komunitasnya. Seperti dijelaskan di awal bahwa para
pemain Dagelan Mataram sering mealkukan siaran dan rekaman baik untuk dijual
atau sponsor obat-obatan. Studio yang digunakan sebagai rekaman antara lain:
Yukawi dan Remaco di Jakarta, Lokananta, Fajar, Santosa, Firgo Ramayana, Panti
Punakawan, El- Sinta, Irama Mas, Wisanda dan Konservatori di Solo, Kusuma di
Klaten. Untuk komersial rata-rata para pemain menandatangani kontrak Rp 10.000
hingga Rp 100.000. Selain pentas rutin guna penerangan terhadap masyarakat,
para pemain juga melayani pementasan umum. Mereka pentas di bulan-bulan
tertentu yang dianggap baik bagi orang Jawa.
Bagi para pemain, masalah yang sering
dihadapi adalah bagaimana mengantisipasi penonton. Menurut mereka penonton di
masa-masa lalu lebih mudah untuk dihibur dengan umpan-umpan yang mudah mereka
sudah tertawa. Tidak demikian dengan penonton sekarang – mungkin ketika
penelitian ini dilakukan – sangat sulit untuk menjadikan mereka tertawa dan
dirasa lebih sukar. Materi-materi lawakan yang digunakan untuk pentas biasanya
tidak memerlukan latihan terlebih dahulu, tetapi hanya mempelajari cerita
secara garis besar. Hal ini dikarenakan materi sudah hafal dan tinggal
menginterprestasikan kembali. Apabila dibandingkan dengan ketoprak, dagelan
lebih luwes,karena tidak muthlak memerlukan musik pengiring dan tidak
memerlukan tempat yang luas selain itu pula dari segi ekonomi, Dagelan lebih
menjajikan dibandingkan dengan pendapatan dari bermain ketoprak.
Dagelan Mataram telah terdokumentasi
di studio-studio rekaman. Hal tersebut dilatarbelakngi pula, adanya masyarakat
pendukung Dagelan Mataram. Meski terbatas jumlahnya, tetapi fakta ini
menunjukan eksistensi dari Dagelan Mataram. Terdapat beberapa studio yang
digunakan sebagai objek penelitian Soepomo dan Soeprapto. Studio tersebut antara
lain adalah Irama Nusantara dan Cokro. Pemaparan secara umum, penjualan kaset
Dagelan Mataram mencapai 3000 buah dengan omset penjualan terbesar 10.000 ribu
buah pada periode Djunaidi. Keterbatasan ini adanya faktor-faktor eksternal
seperti sistem pembajakan serta terbatasnya masyarakat peminat Dagelan Mataram
yang notabene adalah masyarakat Jawa. Sedangkan faktor internal adalah kemampuan
seniman yang oleh perusahaan dinilai menurun dari tahun pertahun. Selain sebab
di atas kejenuhan pasar juga menjadi sebab utama. Alasan-alasan tersebut
membuat beberapa perusahaan menanggalkan kontraknya untuk Dagelan Mataram.
Kehidupan Dagelan Mataram ternyata
tidak sebatas pada rekaman kaset-kaset pita tetapi tidak lepas pula terhadap
radio-radio yang ada di Yogyakarta. Hasil-hasil siaran di radio Yogyakarta
merupakan aspek yang perlu dikaji sebagai bukti eksistensi Dagelan Mataram. Adapun
radio-radio yang menjadi objek dalam penelitian Soepomo dan Soeprapto adalah
sebagai berikut RRI Nusantara II Yogyakarta, Prima Unisi, Redjo Buntung, EMC,
Geronimo, Bikima, Rasia Lima, RAM, Suara Mataram, PTDI Kota Perak, Yasika AK II
dan radio Suara Istana. Hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukan bahwa
terdapat radio yang menyiarkan Dagelan Mataram setiap hari sekali, lima radio
menyiarkan Dagelan Mataram satu kali setiap minggu, satu radio menyiarkan
Dagelan Mataram satu kali daalm dua minggu satu radio sama sekali tidak
menyiarkan Dagelan Mataram. Siaran dalam “bentuk hidup” hanya dilaksanakan dua
radio yakni RRI dan Rejo Buntung. Selain RRI, motivasi utama penyiaran Dagelan
Mataram umunya mendapat keuntungan finansial dari pihak sponsor.
Berdasarkan siaran radio
seniman-seniman Dagelan Mataram menurut popularitasnya diurutkan sebagai
berikut: Basiyo, Bu Basiyo, Ngabdul, Hardjo Gepeng, Kapuk, Suparmi, Prapti,
Prapto, Poniman, Darsono, Djunaidi, dan Marsidah. Umumnya siaran Dagelan
Mataram mendapat sambutan baik dari masyarakat, dan notabene para penikmat
Dagelan Mataram adalah orang tua yang tingkat pendidikannya menengah dan
rendah. Bagi seniman Dagelan Mataram, paling tidak ada dua manfaat bagi
keterlibatannya dalam siaran radio. Manfaat tersebut antara lain adalah pertama
seniman akan memperoleh imbalan uang atas rekaman cerita yang diperlukan
sponsor untuk memenuhi kebutuhan siaran. Manfaat kedua seniman akan memperoleh
imbalan uang atas rekaman cerita yang diperlukan sponsor untuk menjalin
hubungan dengan masyarakat sehingga menghasilkan masyarakat yang khas dan
sesuai dengan karakteristik Dagelan Mataram.
Perlu digaris bawahi dalam bahasan ini
adalah keberadaan tokoh Basiyo. Tokoh tersebut merupakan ikon dari Dagelan
Mataram. Seperti disebutkan Soepomo dan Soeprapto di awal, bahwa Dagelan
Mataram adalah Dagelan Basiyo. Hal ini tidak dapat lepas dari peran Basiyo
sebagai seniman senior di Dagelan Mataram. Meski ketika penelitian ini
dilakukan Basiyo sudah meninggal tetapi jejak-jejak yang beliau tinggalakan
masih diacu generasi selanjutnya. Sepeninggalan Basiyo ternyata tidak
mengurangi tingkat penjualan kaset Dagelan Mataram dan perusahaan tidak
menerima dampak dari meninggalnya Basiyo.
Guna mengetahui tingkat penerimaan
masyarakat Yogyakarta dalam menerima Dagelan Mataram, Soepomo dan Soeprapto
meneliti beberapa masyarakat dengan latar belakang yang berbeda. Mereka dikelompokan
menjadi enam kategori yaitu 1) pekerja kasar, 2) pedagang, 3) mahasiswa, 4)
pegawai dan ibu rumah tangga, 5) pelajar elite dan 6) pelajar slump. Soepomo dan Soeprapto dalam hal
pemilihan ini, menyertakan sekilas tentang latar belakang masyarakat yang
diteliti. Beberapa hasil penelitian mengenai tingkat penerimaan Dagelan Mataram
di masyarakat. Masyarakat menyatakann Dagelan Mataram meski dalam penampilannya
dianggap kesenian yang ketinggalan jaman dan kalah dengan kesenian sejenis yang
lebih mengikuti perkembangan jaman tetapi masih perlu dihargai sama dengan
kesenian lainnya.
Seperti halnya penelitian Musik
Populer oleh Sunyoto Usman, penelitian ini penulis kira memerlukan kerja keras
dan mental tidak bosan dalam melakukannya. Ada korelasi antar bab dan
“dituturkan” dengan cukup jelas. Ada beberapa hal yang belum Nampak, misalkan
untuk batasan penikmat antara penonton Dagelan Mataram masa lalu dan masa kini
perlu adanya periodesasi sehingga jelas batasannya. Penulisan tokoh Basiyo
sebagai tokoh sentral layaknya perlu dihadirkan konstribusinya, meski ketika
penelitian ini, Basiyo sudah meninggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar