24 Agu 2017

Review Buku Dagelan Mataram

Dagelan Mataram: Apresiasi Masyarakat Yogyakarta
Soepomo Poejosoedarmo
Soeprapto Budi Santosa

            Tulisan ini merupakan suntingan dari laporan penelitian Soepomo Poejosoedarmo dan Soeprapto Budi Santosa tentang tingkat penerimaan masyarakat Yogyakarta terhadap bentuk kesenian Dagelan Mataram. Dagelan Mataram adalah bentuk kesenian “lawak” yang mulanya lahir di dalam Kraton Yogyakarta sebagai hiburan bangsawan dengan nama oceh-ocehan. Soepomo dan Soeprapto mencirikan kesenian Dagelan Mataram sebagai berikut: a) mengandung cerita tertentu, b) memakai bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar, c) materi cerita diangkat dari kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa, d) diiringi gamelan dan sinden sebagai ilustrasi, e) kadang-kadang memakai tari-tarian, f) pemain kadang-kadang menyanyikan tembang, g) memakai kostum pakaian Jawa gaya Surakarta atau dari pakaian kesenian lain seperti ketoprak atau wayang orang. Selain cirri-ciri di atas, tradisi dan tata krama Jawa terutama Yogyakarta juga memberi warna sendiri bagi kesenian ini.
            Perkembangan Dagelan Mataram hingga penelitan ini dilakukan menurut Soepomo dan Soeprapto terkena adanya pengaruh-pengaruh budaya “barat” hingga menggeser kedudukannya di masyarakat. Bukan saja dari kesenian lain, tetapi genre kesenian yang sejenis dengan Dagelan Mataram hadir dengan kemasan yang ke barat-barat-an serta mengikuti perkembangan jamannya. Meski demikian melihat kehidupan Dagelan Mataram yang pernah masuk dapur rekaman, dapat dinyatakan bahwa sebenarnya kesenian ini mempunyai peminat yang relatif besar. Hal tersebut menurut Soepomo dan Soeprapto merupakan dasar dilakukannya penelitian ini. Sebagai pertanyaannya adalah, sejauh mana penerimaan masyarakat Yogyakarta terhadap Dagelan Mataram, faktor-faktor apa saja yang menjadi penopang penerimaan itu, serta pengaruh Basiyo – seorang tokoh kesenian ini – bagi Dagelan Mataram.
Latar yang digunakan Soepomo dan Soeprapto dalam penelitian ini adalah masyarakat, siaran radio, studio rekaman, dan kehidupan pemain Dagelan Mataram. Meski tulisan Soepomo dan Soeprapto merupakan deskripsi sementara dari kehidupan Dagelan Mataram tetapi diharapkan mampu memberikan gambaran tentang kedudukan Dagelan Mataram dalam masyarakat.
Awal dari lahirnya Dagelan Mataram adalah ketika bangsawan kraton Yogyakarta yakni, GP Hangabehi yang mempunyai abdi dalem oceh-ocehan. Tugas dari abdi dalem ini adalah menghibur dan membuat tertawa yang melihat. Selain lucu dalam beraktivitas, cacat tubuh dan kelucuan tubuh alamiah merupakan unsur yang tidak kalah penting. Oceh-ocehan hadir dalam upacara dalam kraton seperti perkawinan dan hari kelahiran GP Hangabehi. Mulanya Dagelan ini merupakan selingan acara uyon-uyon yang disiarkan radio MAVRO milik GP Hangabehi yang akhirnya acara tersebut disebut sebagai “Dagelan Mataram”. Bentuk-bentuk kesenian seperti ini juga dapat dijumpai pada jenis kesenian ketoprak tetapi dengan porsi yang lebih sedikit dan hanya bagian dari satu alur cerita. Perkembangannya lelucon seperti ini mendapat porsi yang lebih hingga terdapat kelompok ketoprak Mardi Wandowo yang menemptkan lelucon sebagai pertunjukan awal sebelum pertunjukan inti diselenggarakan dan disebut “ Ketawa Sebentar”.
Dampak diadakannya siaran di MAVRO, terdapat kelompok “Dagelan Mataram” diluar MAVRO, untuk membedakan dengan kelompok luar tersebut Prasuprojo menambahkan nama Dagelan Mataram “Kuping Hitam”. Siaran dilakukan hingga masa kemerdekaan melalui radio RRI Yogyakarta hingga anggotanya menjadi Unit Kesenian Jawa RRI Yogyakarta hingga dikenal sebagai “Dagelan Mataram RRI Yogyakarta”. Bersamaan dengan munculnya Dagelan Mataram, muncul pula kelompok-kelompok “dagelan” lain yang mempunyai “motif” hampir sama dengan Dagelan Mataram berikut fungsi dan perannya. Seperti halnya kehidupan kesenian tradisi, dalam Dagelan Mataram dapat berganti-ganti pemain meski dari lain group.
Guna mengetahui seluk beluk pemain Dagelan Mataram, meski dalam tulisan Soepomo dan Soeprapto dipaparkan satu persatu tentang tokoh yang terlibat didalamnya, dalam review ini hanya akan merangkum tokoh secara umum. Sebagian besar dari pemain Dagelan Mataram adalah orang berpendidikan yang pada akhirnya berperan terhadap penampilan di atas pentas. Seniman yang berpendidikan tinggi biasanya akan dijadikan “jago” dan mudah adaptasi dengan komunitasnya. Seperti dijelaskan di awal bahwa para pemain Dagelan Mataram sering mealkukan siaran dan rekaman baik untuk dijual atau sponsor obat-obatan. Studio yang digunakan sebagai rekaman antara lain: Yukawi dan Remaco di Jakarta, Lokananta, Fajar, Santosa, Firgo Ramayana, Panti Punakawan, El- Sinta, Irama Mas, Wisanda dan Konservatori di Solo, Kusuma di Klaten. Untuk komersial rata-rata para pemain menandatangani kontrak Rp 10.000 hingga Rp 100.000. Selain pentas rutin guna penerangan terhadap masyarakat, para pemain juga melayani pementasan umum. Mereka pentas di bulan-bulan tertentu yang dianggap baik bagi orang Jawa.
Bagi para pemain, masalah yang sering dihadapi adalah bagaimana mengantisipasi penonton. Menurut mereka penonton di masa-masa lalu lebih mudah untuk dihibur dengan umpan-umpan yang mudah mereka sudah tertawa. Tidak demikian dengan penonton sekarang – mungkin ketika penelitian ini dilakukan – sangat sulit untuk menjadikan mereka tertawa dan dirasa lebih sukar. Materi-materi lawakan yang digunakan untuk pentas biasanya tidak memerlukan latihan terlebih dahulu, tetapi hanya mempelajari cerita secara garis besar. Hal ini dikarenakan materi sudah hafal dan tinggal menginterprestasikan kembali. Apabila dibandingkan dengan ketoprak, dagelan lebih luwes,karena tidak muthlak memerlukan musik pengiring dan tidak memerlukan tempat yang luas selain itu pula dari segi ekonomi, Dagelan lebih menjajikan dibandingkan dengan pendapatan dari bermain ketoprak.
Dagelan Mataram telah terdokumentasi di studio-studio rekaman. Hal tersebut dilatarbelakngi pula, adanya masyarakat pendukung Dagelan Mataram. Meski terbatas jumlahnya, tetapi fakta ini menunjukan eksistensi dari Dagelan Mataram. Terdapat beberapa studio yang digunakan sebagai objek penelitian Soepomo dan Soeprapto. Studio tersebut antara lain adalah Irama Nusantara dan Cokro. Pemaparan secara umum, penjualan kaset Dagelan Mataram mencapai 3000 buah dengan omset penjualan terbesar 10.000 ribu buah pada periode Djunaidi. Keterbatasan ini adanya faktor-faktor eksternal seperti sistem pembajakan serta terbatasnya masyarakat peminat Dagelan Mataram yang notabene adalah masyarakat Jawa. Sedangkan faktor internal adalah kemampuan seniman yang oleh perusahaan dinilai menurun dari tahun pertahun. Selain sebab di atas kejenuhan pasar juga menjadi sebab utama. Alasan-alasan tersebut membuat beberapa perusahaan menanggalkan kontraknya untuk Dagelan Mataram.
Kehidupan Dagelan Mataram ternyata tidak sebatas pada rekaman kaset-kaset pita tetapi tidak lepas pula terhadap radio-radio yang ada di Yogyakarta. Hasil-hasil siaran di radio Yogyakarta merupakan aspek yang perlu dikaji sebagai bukti eksistensi Dagelan Mataram. Adapun radio-radio yang menjadi objek dalam penelitian Soepomo dan Soeprapto adalah sebagai berikut RRI Nusantara II Yogyakarta, Prima Unisi, Redjo Buntung, EMC, Geronimo, Bikima, Rasia Lima, RAM, Suara Mataram, PTDI Kota Perak, Yasika AK II dan radio Suara Istana. Hasil pengamatan yang telah dilakukan menunjukan bahwa terdapat radio yang menyiarkan Dagelan Mataram setiap hari sekali, lima radio menyiarkan Dagelan Mataram satu kali setiap minggu, satu radio menyiarkan Dagelan Mataram satu kali daalm dua minggu satu radio sama sekali tidak menyiarkan Dagelan Mataram. Siaran dalam “bentuk hidup” hanya dilaksanakan dua radio yakni RRI dan Rejo Buntung. Selain RRI, motivasi utama penyiaran Dagelan Mataram umunya mendapat keuntungan finansial dari pihak sponsor.
Berdasarkan siaran radio seniman-seniman Dagelan Mataram menurut popularitasnya diurutkan sebagai berikut: Basiyo, Bu Basiyo, Ngabdul, Hardjo Gepeng, Kapuk, Suparmi, Prapti, Prapto, Poniman, Darsono, Djunaidi, dan Marsidah. Umumnya siaran Dagelan Mataram mendapat sambutan baik dari masyarakat, dan notabene para penikmat Dagelan Mataram adalah orang tua yang tingkat pendidikannya menengah dan rendah. Bagi seniman Dagelan Mataram, paling tidak ada dua manfaat bagi keterlibatannya dalam siaran radio. Manfaat tersebut antara lain adalah pertama seniman akan memperoleh imbalan uang atas rekaman cerita yang diperlukan sponsor untuk memenuhi kebutuhan siaran. Manfaat kedua seniman akan memperoleh imbalan uang atas rekaman cerita yang diperlukan sponsor untuk menjalin hubungan dengan masyarakat sehingga menghasilkan masyarakat yang khas dan sesuai dengan karakteristik Dagelan Mataram.
Perlu digaris bawahi dalam bahasan ini adalah keberadaan tokoh Basiyo. Tokoh tersebut merupakan ikon dari Dagelan Mataram. Seperti disebutkan Soepomo dan Soeprapto di awal, bahwa Dagelan Mataram adalah Dagelan Basiyo. Hal ini tidak dapat lepas dari peran Basiyo sebagai seniman senior di Dagelan Mataram. Meski ketika penelitian ini dilakukan Basiyo sudah meninggal tetapi jejak-jejak yang beliau tinggalakan masih diacu generasi selanjutnya. Sepeninggalan Basiyo ternyata tidak mengurangi tingkat penjualan kaset Dagelan Mataram dan perusahaan tidak menerima dampak dari meninggalnya Basiyo.
Guna mengetahui tingkat penerimaan masyarakat Yogyakarta dalam menerima Dagelan Mataram, Soepomo dan Soeprapto meneliti beberapa masyarakat dengan latar belakang yang berbeda. Mereka dikelompokan menjadi enam kategori yaitu 1) pekerja kasar, 2) pedagang, 3) mahasiswa, 4) pegawai dan ibu rumah tangga, 5) pelajar elite dan 6) pelajar slump. Soepomo dan Soeprapto dalam hal pemilihan ini, menyertakan sekilas tentang latar belakang masyarakat yang diteliti. Beberapa hasil penelitian mengenai tingkat penerimaan Dagelan Mataram di masyarakat. Masyarakat menyatakann Dagelan Mataram meski dalam penampilannya dianggap kesenian yang ketinggalan jaman dan kalah dengan kesenian sejenis yang lebih mengikuti perkembangan jaman tetapi masih perlu dihargai sama dengan kesenian lainnya.
Seperti halnya penelitian Musik Populer oleh Sunyoto Usman, penelitian ini penulis kira memerlukan kerja keras dan mental tidak bosan dalam melakukannya. Ada korelasi antar bab dan “dituturkan” dengan cukup jelas. Ada beberapa hal yang belum Nampak, misalkan untuk batasan penikmat antara penonton Dagelan Mataram masa lalu dan masa kini perlu adanya periodesasi sehingga jelas batasannya. Penulisan tokoh Basiyo sebagai tokoh sentral layaknya perlu dihadirkan konstribusinya, meski ketika penelitian ini, Basiyo sudah meninggal.

           


Gong dan Bonang Pada Relief Candi

GONG DAN BONANG PADA RELIEF CANDI
Oleh: Sigit Setiawan
Studi arkelogi dalam kasanah penelitian seni pertunjukan yang kemudian muncul disiplin musikoarkeologi, salah satunya telah dilakukan oleh  Pieter Eduard Johanes Ferdinandus sebagai syarat untuk mendapatkan gelar doktor di Universitas Gajah Mada pada tahun 1999.[1] Metode yang digunakan oleh Ferdinandus salah satunya dengan melakukan studi relief candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta menganalisa bentuk dan fungsi ansamblenya. Penulis lain yang telah melakukan kajian musik dengan menggunakan relief adalah Kunst. Meski tidak banyak menjelaskan tentang konteks kegunaan musiknya, tetapi Kunst paling tidak memberikan gambaran yang jelas, bahwa ada keterkaitan yang jelas antara relief-relief pada candi dengan kehidupan (seni pertunjukan: musik) masyarakat Jawa. Dengan kata lain, relief-relief yang ada pada candi-candi di Jawa merupakan potret kehidupan seni pertunjukan pada masa lampau.
Seperangkat gamelan Jawa yang dapat kita jumpai sekarang adalah refleksi secara bertahap dari perkembangan ansamble gamelan itu sendiri. Terdapat beberapa alat musik yang sama atau paling tidak mempunyai kemiripan antara yang tergambar pada relief candi dengan alat musik pada saat ini. Salah satu alat yang dapat kita jumpai adalah gong dan bonang.
Gong dan bonang merupakan salah satu jenis instrumen yang popular di Nusantara. Hampir di setiap daerah Nusantara dalam beberapa perangkat/ ensamblenya terdapat instrumen gong dan bonang. Belum diketahui secara pasti kapan penyebaran gong dan bonang merambah Nusantara. Hal ini dikarenakan, intsrumen gong dan bonang terdapat pula pada kebudayaan (musik)Asia Tenggara. Thailand, Kamboja, Myanmar adalah negara di mana terdapat instrumen-instrumen berbentuk atau bersistem seperti bonang dan gong.
Studi arkeologi adalah salah satu metode untuk dapat menjelaskan keberadaan gong dan bonang pada masa lampau. Menelaah kembali sumber-sumber yang relevan dan dapat menjelaskan tentang keberadaan insrumen gong dan bonang. Salah satu sumber yang dapat dikaitkan dan dapat merekam keberadaan instrumen gong dan bonang terdapat pada relief-relief candi, khususnya yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Hasil studi tentang relief-relief guna mengetahui keberadaan alat-alat musik di Nusantara sangat sedikit jumlahnya. Kunst merupakan salah satu dari sedikit orang yang menulis tentang relief candi di Jawa. Kunst dalam bunya Music in Java menyinggung relief-relief candi di Jawa hubungannya dengan instrumen alat musik di Jawa. Kertas ini sedikit membahas tentang keberadaan instrumen bonang dan gong. Menjelaskan tentang pengertian gong dan bonang secara umum. Langkah berikutnya adalah mencoba menganalisa pada candi-candi di Jawa kemudian menganalisa keberadaan instrumen tersebut.
  1. Sedikit tentang Instrumen Gong dan Bonang
Gong merupakan istilah yang sama digunakan oleh masyarakat Nusantara untuk menyebut instrumen berbentuk lingkaran dalam berbagai ukuran dengan atau tanpa sebuah lingkaran (pencu atau bos) di bagian tengah. Instrumen gong terdapat di berbagai daerah Nusantara, seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan daerah-daerah lain. Istilah gong juga sering digunakan untuk menyebut satu perangkat gamelan tertentu, misalnya, gong kebyar di Bali dan nama satu perangkat gamelan di Jawa Tengah sering disebut gong. Hal ini merujuk pada bentuk fisik gong di Jawa yang besar dan terbesar dari instrumen lain sehingga terkesan sebagai “raja” dari semua instrumen sehingga menyebut gong sama dengan menyebut keseluruhan perangkat gamelan.
Gambar 1
Gong yang mempunyai bos di bagian tengah lingkaran.
Selain berbentuk lingkaran terdapat badan gong yang sekaligus sebagai tabung suara atau resonator sehingga apa bila dipukul akan bergema. Kasanah karawitan Jawa peran gong adalah sebagai rujukan akhir dari musikal karawitan atau terminal akhir dari alur musikal.
Bonang pada dasarnya mempunyai sistem yang sama dengan gong. Bonang di Bali mirip dengan instrumen reyong dan trompong, yakni merupakan alat musik berbentuk menyerupai gong, berpencu, dan berbadan lebih panjang.
Bonang di Bali disebut dengan reyong dan trompong sedankan di Sumatra terdapat talempong. Secara fisik mempunyai kemiripan di mana ada bagian badan yang lebih panjang dan pencu – di Jawa disebut pencon.




Gambar 2
Bonang dalam perangkat gamelan Jawa (Surakarta)
Berikutnya, semua instrumen dalam relief-relief candi yang mempunyai kemiripan dalam segi fisik, akan digolongkan dalam instrumen gong dan bonang.
  1. Bonang dan Gong pada Relief Candi
Candi-candi yang merekam tentang alat musik gong dan bonang terdapat serta didominasi oleh candi-candi yang ada di Jawa Timur. Meski di Jawa Tengah – yakni candi Borobudur dan Prambanan – telah menunjukan terdapat bagian-bagian relief yang menggambarkan alat-alat musik waktu itu, tetapi belum diketahui tentang keberadaan instrumen gong dan bonang.
Sedikit tentang Karmawhibangga Borobudur
Sebagai contoh, candi Borobudur pada bagian karmawhibangga yang melukiskan gambaran kehidupan sehari-hari Jawa Kuno pada abad ke 9 dan ke 10. Relief Karmawibhangga terdapat 10 panel yang memuat jenis alat musik. Panel tersebut adalah panel nomor 1, panel nomor 39, panel nomor 47, panel nomor 48, panel nomor 52, panel nomor 53, panel nomor 72, panel nomor 101, panel nomor 102 dan panel nomor 117.
Adapun jenis alat musik yang terdapat pada relief terdiri atas 4 jenis yaitu :
1. Jenis idiophone (kentongan dan kerincingan).
2. Jenis membraphone (gendang, kentingan).
3. Jenis chardophone (gambus, rebab).
4. Jenis aerophone ( seruling, terompet).
Jenis alat musik kentongan terdapat pada panel nomor 48 dan panel nomor 53. Jenis alat musik kerincingan terdapat pada panel nomor 72. Jenis alat musik kendang terdapat pada panel nomor 1 dan panel nomor 52. Jenis musik kentingan terdapat pada panel nomor 72. Jenis alat musik rebab terdapat pada panel nomor 39. Jenis alat musik gambus terdapat pada relief nomor 102. Jenis alat musik serulign terdapat pada panel nomor 39, panel nomor 47, panel nomor 101 dan panel nomor 117. Jenis alat musik terompet terdapat pada panel nomor 53.[2] Berdasarkan pemaparan di atas, menunjukan tidak adanya instrumen bonang atau gong pada relief candi Borobudur pada bagian karmabhiwangga.
Berikut pemaparan candi-candi yang pada reliefnya menunjukan adanya gambaran tentang instrumen bonang dan gong.
  1. Candi Ngrimbi
Candi Ngrimbi terletak di Desa Pulosari, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Candi ini dibangun sekitar abad ke-14. Bahan bakunya terbuat dari Batu Alam. Dahulu terdapat Arca Parwati dalam wujud Tribuana, namun saat ini arca tersebut ada di Museum Nasional. Candi ini merupakan gerbang selatan dari Kerajaan Majapahit. Konon di candi inilah jasad Ratu Tribuana Tunggadewi, ibunda Raja Hayam Wuruk dikremasi.
Relief tersebut menggambarkan instrumen reyong yakni dua buah bonang yang dihubungkan sebuah tangkai panjang, dengan pencu menghadap ke samping. Instrumen dipangku oleh pemainnya.
Gambar 3
040 041
Di Bali disebut gumanak
( dua buah bonang yang dihubungkan dengan tabung pada sambaing kanan dan kiri­)


  1. Candi Kedhaton
Candi berikutnya yang memberikan keterangan tentang alat musik gong dan bonang adalah candi Kedaton di dusun Kedaton, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Candi Kedaton yang juga memiliki Sumur Upas. Namun diperkirakan bentuk bangunan situs tersebut segi empat, bangunan candi dengan sumur upas, mulut goa, dan lorong rahasia. Candi Kedhaton berbentuk datar diduga merupakan ruang pertemuan, tapi di sudut selatan ada makamnya, sedangkan bentuk goa diduga sebagai tempat semadi (pertapaan), dan lorong rahasia diduga ruang pelarian.
          Konon cuplikan kisah Garudeya terpahat dalam relief di Candi Kedaton. Letak bangunan suci agama Hindu yang berada di lereng Pegunungan Iyang di Jawa Timur ini di Dusun Lawang Kedaton, Desa Andungbiru, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo. Candi berukuran enam meter persegi dan berangka tahun Saka 1292 (1370 M) yang terpahat di pipi tangga. Candi Kedaton memiliki 33 buah panil relief pada bagian kaki candi. Selain kisah Garudeya, beberapa panil menggambarkan kisah Arjunawiwaha dan Bhomakawya.
Gambar 4
060
Instrumen gong dalam relief candi Kedhaton

  1. Candi Panataran
Candi Panataran terletak di kota Blitar, Jawa Timur. Candi Panataran adalah sebuah candi berlatar belakang Hindu (Siwaitis) yang terletak di Jawa Timur, tepatnya di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar. Kompleks candi ini merupakan yang terbesar di Jawa Timur. Candi ini mulai dibangun dari Kerajaan Kediri dan dipergunakan sampai dengan Kerajaan Majapahit. Candi Penataran ini melambangkan penataan pemerintahan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa Timur.
Nama asli candi Penataran dipercaya adalah Candi Palah yang disebut dalam prasasti Palah, dibangun pada tahun 1194 oleh Raja Çrnga (Syrenggra) yang bergelar Sri Maharaja Sri Sarweqwara Triwikramawataranindita Çrengalancana Digwijayottungadewa yang memerintah kerajaan Kediri antara tahun 1190 – 1200, sebagai candi gunung untuk tempat upacara pemujaan agar dapat menetralisasi atau menghindar dari mara bahaya yang disebabkan oleh gunung Kelud yang sering meletus. Kitab Negarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca menceritakan perjalanan Raja Hayam Wuruk, yang memerintah kerajaan Majapahit antara tahun 1350 – 1389, ke Candi Palah untuk melakukan pemujaan kepada Hyang Acalapati yang berwujud Girindra (raja penguasa gunung).
Candi Panataran terdapat relief yang menunjukan keberadaan instrumen gong dan bonang. Pada panil 36 menggambarkan dua raksasa ang memegang pareret dan gong berpencu yang dipukul dengan tongkat.[3] Menurut Ferdinandus instrumen tersebut bersifat melodis-ritmis.[4]
Gambar 5

042

Prajurit Raksasa yang membawa gong beri











Gambar 6

043
Prajurit kera yang membawa gong dengan cara di pikul.

Penggambaran relief pada candi Panataran adalah menceritakan tentang cerita Ramayana. Gambaran relief tersebut dapat ditafsirkan sebagai alat musik perang dari prajurit kera dan raksasa.[5] Selain alat musik gong, terdapat pula instrumen bonang (reyong), yakni pada panil 54, menggambarkan empat buah reyong yang masing-masing bonang dihubungkan dengan tabung cekung. Satu silinder penghubung terdapat dua buah bonang. Alat musik ini, masih bertahan hingga sekarang, yakni di Bali, daerah Ubud, yang disebut dengan gumanak.
Gambar 6
067
Instrumen Gumanak

Gambar 7
046
Relief gumanak

  1. Candi Sukuh
Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut. Candi ini terletak di Dukuh Berjo, Desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi Sukuh dibangun pada abad XVI. Candi ini terdapat relief yang menggambarkan adanya instrumen gong.
Gambar 8
052
Terdapat gong yang dijinjing dan dipukul dengan tongkat pendek

Suasana relief tersebut dapat ditafsirkan sebagai bentuk ekspresi kegembiraan atau upacara keagamaan yang menggunakan instrument gong.
DAFTAR PUSTAKA

Ferdinandus, Pieter Johuard Johannes, Alat- Alat Musik Jawa Kuna. Yogyakarta: Mahardika, 2003.

Kunts, Japs, Music in Java; its History, its Theory and its Technique (vol. I & II). The Hague: Martinus Nijhoff, 1973.

R. M. Soerdarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: MSPI bekerjasama dengan Ford Foundation,1999.

Taufik, Muhammad, dkk. “Studi Arkeologi”. Yogyakarta Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, 1997.





[1] R. M. Soerdarsono. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. (Bandung: MSPI bekerjasama dengan Ford Foundation,1999), hlm. 4.
[2] Muhammad Taufik, dkk . “Studi Arkeologi”. Yogyakarta Balai Konservasi Peninggalan Borobudur,1997.

[3] Pieter Johuard Johannes Ferdinandus. Alat- Alat Musik Jawa Kuna. (Yogyakarta: Mahardika, 2003) hal. 151.
[4] Ibid. 151.
[5] Suleiman dalam Ferdinandus. Alat- Alat Musik Jawa Kuna. (Yogyakarta: Mahardika, 2003) hal. 150.