20 Mei 2013

Review Buku Karawitan


Review Buku Bobthekan Karawitan II Tulisan Rahayu Supanggah
Rahayu Supanggah mengawali pembasahan buku tersebut dengan pemaparan wacana teoritik kesenian di Indonesia yang menurut Supanggah sangat jauh tertinggal dengan kekaryaan seninya. Faktanya di Indonesia menurut Supanggah masih sedikit yang menjadikan kesenian sebagai obyek penelitian.
Pengagungan teori-teori “barat” sebagai pisau bedah untuk meneliti kesenian-kesenian di Indonesia dan sering kali merupakan “paksaan” terhadap kesenian itu sendiri, berdampak kurang baik bagi kesenian di Indonesia. Kesadaran akan fenomena tersebut kemudian tulisan “Garap” ini dikemukakan sebagai salah satu langkah awal mencari solusi atas keprihatinan Supanggah. Garap yang ditulis berdasarkan pengalaman Supanggah selama 40 tahun sebagai seorang pengrawit, merupakan aktualisasi empirik dari endapan-endapan pengalaman Supanggah. Berikut sepintas tentang pembahasan garap dalam karawitan Jawa.
Supanggah dalam bukunya menjelaskan bahwa dalam karya seni tidaklah hadir secara tiba-tiba namun terdapat semacam bangunan atau unsur-unsur garap di dalamnya. Unsur-unsur garap tersebut meliputi ide garap, proses garap, tujuan garap, serta hasil garap.
Garap dalam tulisan Rahayu Supanggah dianalogkan dengan realitas kehidupan sehari-hari dalam masyarakat seperti membuat rumah, bertani, memasak dan lain sebagainya. Garap dalam karawitan dapat diberi pengertian sebagai berikut, yaitu perilaku praktik dalam menyajikan (kesenian) karawitan melalui kemampuan tafsir (interprestasi), imajinasi,  ketrampilan teknik, memilih vokabuler permainan instrumen/ vokal, dan kreativitas kesenimanannya. Unsur-unsur dalam garap antara lain adalah seperti: ide garap, proses garap yang terdiri dari; bahan garap, penggarap, perabot garap, sarana garap, pertimbangan garap, penunjang garap, unsur selanjutnya adalah tujuan garap dan yang terakhir adalah hasil garap.
            Ide garap, sebuah akar dari konsep garap yang melihat ide atau gagasan yang ada pada benak seniman pelaku garap, terutama dalam proses penciptaan gending ini. Supanggah menyebutkan bahwa ide garap dapat muncul dalam bentuk apapun, darimana, dan dimanapun. Ide garap menurut Supanggah dapat hadir, dijumpai, terjadi dikehidupan kita sehari-hari yang melibatkan fenomena-fenomena tertentu seperti fenomena alam, sosial serta dari unsur musikalitas tertentu. Ide ini kemudian di”visualkan” melalui permainan gamelan, yang melibatkan proses garap.
            Proses garap yang meliputi bahan garap, merupakan materi dasar, bahan mentah yang diacu, di "masak", dan digarap oleh sekelompok orang. Bahan garap merupakan balungan imajener gending (kerangka) yang menghasilkan karakter musikal. Supanggah dalam pembahasannya, membedakan antara balungan gending dan gending. Pemaknaan makna balungan gending yang didentikan dengan pola tabuhan saron, telah dibantah oleh Supanggah. Balungan gending merupakan, kerangka imaginer yang kasarira dimasing-masing benak para pengrawit. Kemudian kerangka-kerangka tersebut dituangkan dalam pola permainan gamelan yang akhirnya membentuk apa yang dinamakan gending. Gending ada setelah disajikan serta bukan sekumpulan partitur, perlu adanya tafsir dari para pengrawit hingga ada kesan rasa musikal tertentu. Balungan gending oleh Supanggah digolongkan menjadi beberapa jenis, yang semuanya terikat dalam konsep gatra, dimana hal tersebut menunjukan bahwa gatra merupakan embrio awal tersusunnya sebuah gending. Gending inilah kemudian di analisa berdasarkan bentuk, ukurab, fungsi, laras dan/atau pathet, serta rasa musikalnya. Hal terakhir ini disebabkan oleh proses garap yang kedua yaitu penggarap yang dalam konteks ini merupakan unsur terpenting dalam proses garap. Selain dari faktor pendidikan hal yang cukup penting dari penggarap kaitannya dengan pembentukan karakter garap adalah lingkungan. Lingkungan bagi penggarap memiliki peranan yang cukup penting dalam menentukan karater garap, karena penulis beranggapan bahwa lingkungan merupakan peristiwa sosial yang saling berinteraksi, membentuk, mengkonstruk pola pikir seniman sesuai dengan kehendak dan kemauan atas fenomena sekitarnya. Penggarap, menurut Supanggah ada beberapa kelompok spesial yang hadir secara kodrati, alami, keturunan maupun genetika. Kemudian ada yang menyebutnya bakat, hal yang menurut Supanggah tidak boleh diirikan.
            Perabot garap, sarana garap, pertimbangan serta penunjang garap merupakan jaring dari proses garap yang dipergunakan dalam melihat kecenderungan proses pembentukan karakter musikal gending. Perabot garap merupakan benda fisik yang berupa instrumen yang dipergunakan oleh seniman dalam menggarap. Sarana ini, setidaknya dapat digunakan dalam mencari keterkaitan dari seniman dalam memahami perabot garapnya yaitu gamelan, karena setiap daerah pasti memiliki dan memberikan konstruk makna tersendiri terhadap keberadaan instrumen atau alat musik yang mereka miliki, misal sebagai pendukung ritus upacara ataupun hiburan semata. Sarana garap mempengaruhi oleh Supanggah dimaknai dengan perangkat fisik yang sering digunakan sebagai instrumen eksplorasi (berupa gamelan) bagi para pengrawit. Sarana ini kemudian diklasifikasi menurut bentuk fisik, unsur musikal, hirearki dan organonologinya.
Perabot garap setidaknya dapat memberikan konsep musikal yang mendasari seniman dalam menggarap gending ini. Konsep musikal (yang meliputi aturan, kebiasaan-kebiasaan) tentunya akan memiliki perbedaan antara daerah satu dengan yang lainnya. Hal ini sangat terkait dengan konsep tafsir yang mereka miliki kaitannya dalam menggarap suatu gending. Setiap kebudayaan karawitan pasti memilki tafsir tersebut, tafsir musikal yang ada tentunya akan berpengaruh besar terhadap lahirnya karakter musikal yang membingkai gending. Adapun prabot garap tersebut meliputi teknik, pola, irama dan laya, laras, pathet, konvensi dan dinamika.
 Penentu garap merupakan beberapa hal yang mendorong atau menjadi pertimbangan utama dari penggarap untuk melakukan garap, menyajikan suatu komposisi gending melalui sajian ricikan yang dimainkannya atau vokal. Pengertian tersebut memberi membedah persoalan apa saja yang menentukan terbentuknya karakter musikal gending, apakah menyangkut fungsi sosial, fungsi hiburan, atau bahkan hal lain seperti ritual. Perlu diketahui pula bahwa otoritas merupakan dampak yang mempengaruhi garap. Sebagai contoh, selera-selera pencipta gending kraton, sangat didominasi oleh raja, karenanya garap yang disajikan pun sesuai dengan apa yang dikehendaki raja, bahkan hak cipta pun diklaim oleh raja. Kemudian bagaimana para “composer” gamelan sebagai corong pemerintah, seperti lagu P4 karya Nartosabdo yang berisi tentang himbauan betapa pentingnya P4 untuk dimengerti dan dilakukan oleh masyarakat waktu itu. Otoritas lain lahir dari beberapa faktor, selain kekuasaan, juag lahir dari pribadi-pribadi yang berwibawa dalam kelompoknya sehingga melahirkan karya-karya baru yang berbau individu, seperti gaya Nartosabdan, Cokrowarsitan yang kesemuanya mempunyaiu ciri musikal yang khas. Penentu garap juga dipengaruhi oleh keterkaitan gamelan dengan fungsi-fungsi sosial dan layanan seni, akan menimbulkan garap yang berbeda pula.
Penunjang garap merupakan beberapa faktor yang menjadi penunjang dalam terbentuknya karakter musikal gending diantaranya pengaruh internal dalam diri seniman, pengaruh eksternal yang dapat mencakup karya pesanan, pengaruh dari empu sebelumnya maupun keraton, atau bahkan karena terdapat adanya hal lain misal sesuatu yang hubungannya dengan renik.
            Tujuan, dari ide garap sampai pada proses garap, penulis memandang bahwa keberadaan gending memilki tujuan yang ingin disampaikan oleh seniman maupun masyarakat pelaku seninya. Tujuan ini sangat ditentukan oleh ide garap seperti diatas, namun juga tidak terlepas dari aspek-aspek di dalam prosesnya. Penulis berasumsi bahwa dengan adanya tujuan ini maka karakter musikal gendingpun akan terbentuk. Sebagai contoh, gending Irian Barat Karya Martopangrawit karena ditujukan sebagai media perjuangan terhadap penjajah Belanda pada tahun 1960-an maka membawa dampak karakter musikalnya yang cenderung "tegas", "keras", dan "patriotik (bahasanya)". Hal ini menggambarkan bagaimana tujuan menjadi faktor penting yang hasilnya akan menentukan karakter musikal sebuah gending.
            Seperti yang kita ketahui, bahwa lahirnya sebuah teori berasal dari sebuah perenungan yang dalam hiangga melahirkan suatu gagasan dimana gagasan tersebut merupakan satu kerangka pikir yang dapat digunakan sebagai pijakan norma. Salah satunya lahir dari para filosof-filosof dan pujangga-pujangga. Kemudian lahirnya teori dapat berdasarkan satu pengalaman empirik yang dituangkan dalam sebuah kerangka ilmiah dan didudukan sebagai landasan pikir. Pengertian teakhir inilah yang sering dijumpai dalam penulisan-penulisan ilmiah. Ketika Garap didudukan dalam ranah dan teori, sebenarnya tulisan Supanggah tersebut merupakan gabungan dari keduanya, selain lahir dari sebuah perenungan juga lahir karena pengalaman empirik yang telah ia lalui selama ini. Supanggah melihat garap sebagai sesuatu yang bergerak diantara ruang dan waktu. Sudut pandang yang dia pilih adalah, sudut pandang pengrawit. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya ketika karawitan dipandang dari sisi antropologi, sosial, histori dan disiplin ilmu yang lain, Supanggah melihat karawitan dari sisi pelaku, seniman, pengrawit, insider.
            Sebenarnya tulisan Supanggah mengenai garap ini, telah membuka beberapa mata peneliti yang sering keliru dalam melihat sisi karawitan dan sering menjadikan hasil penelitian tersebut menjadi salah arah. Pertimbangan garap yang begitu banyak, sebenarnya sesuatu yang tidak disadari atau dengan kata lain, sebenarnya semua hal yang dipaparkan oleh Supanggah adalah sesuatu yang sudah menjadi jiwa, kasarira, menjadi satu dan sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang harus dipikirkan secara detail, “serius” dan mendetail. Semuanya dilalui para pengrawit dengan naluri mereka. Naluri-naluri pengrawit – yang kebetulan Supanggah adalah seorang pengrawit pula – inilah yang kemudian dicatat, disarikan, dipotret, serta melahirkan buku berjudul Garap. Sebenarnya setiap pengrawit mempunyai intuisi untuk membukukan apa yang dia alami, tetapi seperti pendapat Supanggah di depan bahwa menulis belum menjadi iklim yang bagus, tentu saja pengrawit tidak memusingkan masalah itu karena mereka memang “murni” sebagai pelaku seni, tidak memusingkan masalah tulis-menulis, itu tugas para peneliti, seniman akademis(?).
            Kemudian apa yang dapat dikoreksi dari tulisan Supanggah ini, ketika dalam bukunya pun ia mengeklaim bahwa tulisannya ini memang disengaja tidak diwadahi dalam frame ilmiah. Ketidakilmiahan ini dapat diamati tatabahasa yang digunakan – tetapi lebih dapat dimengerti – serta beberapa pendapatnya – dengan diterbitkannya buku ini – yang tidak mencoba meruntuhkan teori-teori terdahulu, malah berterimakasih kepada mereka yang telah membuka mata para akademisi di Indonesia. Sisi “ketidakilmiahan” tulisan ini, kemudian memunculkan pertanyaan, pada tingkat kelayakan, apakah memenuhi standart ilmiah bila digunakan sebagai satu landasan, pondasi, teori, penelitian ilmiah dunia karawitan bahkan dapat diaplikasikan pada aspek yang lebih luas?
            Kedua, tulisan Supanggah menggunakan pendekatan karawitan klasik, yang notabene berbasic “garap” kraton, meski secara global batas-batas yang membedakan gaya kini sudah kian memudar, ketika konsep tersebut diaplikasikan pada masa sekarang, dengan pertimbangan garap yang kian komplek, lintas gaya, serta garap-garap klasik yang kian ditinggalkan, penulis kira perlu ditinjau kembali, meski dasar-dasar karawitan sebenarnya terdapat persamaan.
            Sebagai abstraksi kasus terakhir, terkait dengan  penggunaan notasi dalam karawitan. Notasi yang dahulu digunakan sebagai pengingat serta dokumentasi tertulis, kini seolah diposisikan sebagai sesuatu yang baku, yang mengarahkannya pada pemahaman bahwa notasi merupakan balungan gending. Kini para pengrawit – terutama para pengrawit muda – tidak lagi mendudukan balungan gending sebagai sesuatu yang harus ada, penafsiran ditujukan pada notasi-notasi. Hal ini dapat disadari karena selain entitas penyajian karawitan klasik yang semakin sedikit, para generasi sekarang tidak perlu lagi hafal dengan balungan gending karena mereka ada rasa ketergantungan dengan notasi, meskipun pada bentuk-bentuk gending tertentu tidak memerlukan notasi karena selain sudah hafal, gending tersebut benar-benar telah kasarira. Konsep balungan gending dan notasi gending mengalami kerancuan saat ini, untuk itu perlu dilakukan tinjauan kembali mengenai konsep tersebut.
            Buku ini telah memaparkan secara gamblang konsep-konsep yang ada dan banyak sekali dalam dunia karawitan. Bothekan II yang merupakan lanjutan buku Bothekan Karawitan I, adalah bentuk kajian karawitan yang lebih menggunakan sisi pelaku seninya sebagai pisau bedahnya. Untuk itu perlu dikemukakan kembali bahwa penelitian-penelitian seperti ini menjadi penting kedepannya.

Gamelan Jawa Gaya Surakarta

Kendang dalam karawitan Jawa Gaya Surakarta terdapat beberapa jenis kendang, yakni kendang Ageng atau Gede (besar) kendang sabet juga disebut kendang wayangan karena terkait kebutuhan guna pertunjukan wayang kulit. Kendang ketiga adalah kendang ciblon yakni kendang untuk penyajian klenengan (karawitan mandiri) dengan bentuk lebih kecil dari kendang wayangam. Keempat adalah kendang ketipung atau penunthung dengan bentuk yang paling kecil dibanding ketiga kendang lainnnya.