Review Buku Bobthekan
Karawitan II Tulisan Rahayu Supanggah
Rahayu
Supanggah mengawali pembasahan buku tersebut dengan pemaparan wacana teoritik
kesenian di Indonesia yang menurut Supanggah sangat jauh tertinggal dengan
kekaryaan seninya. Faktanya di Indonesia menurut Supanggah masih sedikit yang
menjadikan kesenian sebagai obyek penelitian.
Pengagungan
teori-teori “barat” sebagai pisau bedah untuk meneliti kesenian-kesenian di
Indonesia dan sering kali merupakan “paksaan” terhadap kesenian itu sendiri,
berdampak kurang baik bagi kesenian di Indonesia. Kesadaran akan fenomena
tersebut kemudian tulisan “Garap” ini dikemukakan sebagai salah satu langkah
awal mencari solusi atas keprihatinan Supanggah. Garap yang ditulis berdasarkan pengalaman Supanggah selama 40 tahun
sebagai seorang pengrawit, merupakan
aktualisasi empirik dari endapan-endapan pengalaman Supanggah. Berikut sepintas
tentang pembahasan garap dalam karawitan Jawa.
Supanggah dalam bukunya
menjelaskan bahwa dalam karya seni tidaklah hadir secara tiba-tiba namun
terdapat semacam bangunan atau unsur-unsur garap di dalamnya. Unsur-unsur garap
tersebut meliputi ide garap, proses garap, tujuan garap, serta hasil garap.
Garap
dalam tulisan Rahayu Supanggah dianalogkan dengan realitas kehidupan
sehari-hari dalam masyarakat seperti membuat rumah, bertani, memasak dan lain
sebagainya. Garap dalam karawitan dapat diberi pengertian sebagai berikut,
yaitu perilaku praktik dalam menyajikan (kesenian) karawitan melalui kemampuan
tafsir (interprestasi), imajinasi,
ketrampilan teknik, memilih vokabuler permainan instrumen/ vokal, dan
kreativitas kesenimanannya. Unsur-unsur dalam garap antara lain adalah seperti:
ide garap, proses garap yang terdiri dari; bahan garap, penggarap, perabot garap,
sarana garap, pertimbangan garap, penunjang garap, unsur selanjutnya adalah
tujuan garap dan yang terakhir adalah hasil garap.
Ide
garap, sebuah akar dari
konsep garap yang melihat ide atau gagasan yang ada pada benak seniman pelaku
garap, terutama dalam proses penciptaan gending ini. Supanggah menyebutkan
bahwa ide garap dapat muncul dalam bentuk apapun, darimana, dan dimanapun. Ide
garap menurut Supanggah dapat hadir, dijumpai, terjadi dikehidupan kita
sehari-hari yang melibatkan fenomena-fenomena tertentu seperti fenomena alam,
sosial serta dari unsur musikalitas tertentu. Ide ini kemudian di”visualkan”
melalui permainan gamelan, yang melibatkan proses garap.
Proses
garap yang meliputi bahan
garap, merupakan materi dasar, bahan mentah yang diacu, di "masak",
dan digarap oleh sekelompok orang. Bahan garap merupakan balungan imajener gending
(kerangka) yang menghasilkan karakter musikal. Supanggah dalam pembahasannya,
membedakan antara balungan gending dan gending. Pemaknaan makna balungan
gending yang didentikan dengan pola tabuhan saron, telah dibantah oleh
Supanggah. Balungan gending merupakan, kerangka imaginer yang kasarira
dimasing-masing benak para pengrawit. Kemudian kerangka-kerangka tersebut
dituangkan dalam pola permainan gamelan yang akhirnya membentuk apa yang
dinamakan gending. Gending ada setelah disajikan serta bukan sekumpulan partitur,
perlu adanya tafsir dari para pengrawit hingga ada kesan rasa musikal tertentu.
Balungan gending oleh Supanggah digolongkan menjadi beberapa jenis, yang
semuanya terikat dalam konsep gatra, dimana hal tersebut menunjukan bahwa gatra
merupakan embrio awal tersusunnya sebuah gending. Gending inilah kemudian di
analisa berdasarkan bentuk, ukurab, fungsi, laras dan/atau pathet, serta rasa
musikalnya. Hal terakhir ini disebabkan oleh proses garap yang kedua yaitu
penggarap yang dalam konteks ini merupakan unsur terpenting dalam proses garap.
Selain dari faktor pendidikan hal yang cukup penting dari penggarap kaitannya
dengan pembentukan karakter garap adalah lingkungan. Lingkungan bagi penggarap
memiliki peranan yang cukup penting dalam menentukan karater garap, karena
penulis beranggapan bahwa lingkungan merupakan peristiwa sosial yang saling
berinteraksi, membentuk, mengkonstruk pola pikir seniman sesuai dengan kehendak
dan kemauan atas fenomena sekitarnya. Penggarap, menurut Supanggah ada beberapa
kelompok spesial yang hadir secara kodrati, alami, keturunan maupun genetika.
Kemudian ada yang menyebutnya bakat, hal yang menurut Supanggah tidak boleh
diirikan.
Perabot
garap, sarana garap, pertimbangan serta penunjang garap merupakan jaring dari
proses garap yang dipergunakan dalam melihat kecenderungan proses pembentukan
karakter musikal gending. Perabot garap
merupakan benda fisik yang berupa instrumen yang dipergunakan oleh seniman
dalam menggarap. Sarana ini,
setidaknya dapat digunakan dalam mencari keterkaitan dari seniman dalam
memahami perabot garapnya yaitu gamelan, karena setiap daerah pasti memiliki
dan memberikan konstruk makna tersendiri terhadap keberadaan instrumen atau
alat musik yang mereka miliki, misal sebagai pendukung ritus upacara ataupun
hiburan semata. Sarana garap mempengaruhi oleh Supanggah dimaknai dengan perangkat fisik yang sering digunakan
sebagai instrumen eksplorasi (berupa gamelan) bagi para pengrawit. Sarana ini
kemudian diklasifikasi menurut bentuk fisik, unsur musikal, hirearki dan
organonologinya.
Perabot garap setidaknya dapat
memberikan konsep musikal yang mendasari seniman dalam menggarap gending ini.
Konsep musikal (yang meliputi aturan, kebiasaan-kebiasaan) tentunya akan
memiliki perbedaan antara daerah satu dengan yang lainnya. Hal ini sangat
terkait dengan konsep tafsir yang mereka miliki kaitannya dalam menggarap suatu
gending. Setiap kebudayaan karawitan pasti memilki tafsir tersebut, tafsir
musikal yang ada tentunya akan berpengaruh besar terhadap lahirnya karakter
musikal yang membingkai gending. Adapun prabot garap tersebut meliputi teknik,
pola, irama dan laya, laras, pathet, konvensi dan dinamika.
Penentu
garap merupakan beberapa hal yang mendorong atau menjadi
pertimbangan utama dari penggarap untuk melakukan garap, menyajikan suatu
komposisi gending melalui sajian ricikan yang dimainkannya atau vokal.
Pengertian tersebut memberi membedah persoalan apa saja yang menentukan
terbentuknya karakter musikal gending, apakah menyangkut fungsi sosial, fungsi
hiburan, atau bahkan hal lain seperti ritual. Perlu diketahui pula bahwa
otoritas merupakan dampak yang mempengaruhi garap. Sebagai contoh,
selera-selera pencipta gending kraton, sangat didominasi oleh raja, karenanya
garap yang disajikan pun sesuai dengan apa yang dikehendaki raja, bahkan hak
cipta pun diklaim oleh raja. Kemudian bagaimana para “composer” gamelan sebagai
corong pemerintah, seperti lagu P4 karya Nartosabdo yang berisi tentang
himbauan betapa pentingnya P4 untuk dimengerti dan dilakukan oleh masyarakat
waktu itu. Otoritas lain lahir dari beberapa faktor, selain kekuasaan, juag
lahir dari pribadi-pribadi yang berwibawa dalam kelompoknya sehingga melahirkan
karya-karya baru yang berbau individu, seperti gaya Nartosabdan, Cokrowarsitan
yang kesemuanya mempunyaiu ciri musikal yang khas. Penentu garap juga
dipengaruhi oleh keterkaitan gamelan dengan fungsi-fungsi sosial dan layanan
seni, akan menimbulkan garap yang berbeda pula.
Penunjang
garap
merupakan beberapa faktor yang menjadi penunjang dalam terbentuknya karakter
musikal gending diantaranya pengaruh internal dalam diri seniman, pengaruh
eksternal yang dapat mencakup karya pesanan, pengaruh dari empu sebelumnya
maupun keraton, atau bahkan karena terdapat adanya hal lain misal sesuatu yang
hubungannya dengan renik.
Tujuan,
dari ide garap sampai pada proses garap, penulis memandang bahwa keberadaan gending
memilki tujuan yang ingin disampaikan oleh seniman maupun masyarakat pelaku
seninya. Tujuan ini sangat ditentukan oleh ide garap seperti diatas, namun juga
tidak terlepas dari aspek-aspek di dalam prosesnya. Penulis berasumsi bahwa
dengan adanya tujuan ini maka karakter musikal gendingpun akan terbentuk.
Sebagai contoh, gending Irian Barat Karya Martopangrawit karena ditujukan
sebagai media perjuangan terhadap penjajah Belanda pada tahun 1960-an maka
membawa dampak karakter musikalnya yang cenderung "tegas",
"keras", dan "patriotik (bahasanya)". Hal ini menggambarkan
bagaimana tujuan menjadi faktor penting yang hasilnya akan menentukan karakter
musikal sebuah gending.
Seperti
yang kita ketahui, bahwa lahirnya sebuah teori berasal dari sebuah perenungan
yang dalam hiangga melahirkan suatu gagasan dimana gagasan tersebut merupakan
satu kerangka pikir yang dapat digunakan sebagai pijakan norma. Salah satunya
lahir dari para filosof-filosof dan pujangga-pujangga. Kemudian lahirnya teori
dapat berdasarkan satu pengalaman empirik yang dituangkan dalam sebuah kerangka
ilmiah dan didudukan sebagai landasan pikir. Pengertian teakhir inilah yang
sering dijumpai dalam penulisan-penulisan ilmiah. Ketika Garap didudukan dalam
ranah dan teori, sebenarnya tulisan Supanggah tersebut merupakan gabungan dari
keduanya, selain lahir dari sebuah perenungan juga lahir karena pengalaman
empirik yang telah ia lalui selama ini. Supanggah melihat garap sebagai sesuatu
yang bergerak diantara ruang dan waktu. Sudut pandang yang dia pilih adalah,
sudut pandang pengrawit. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya ketika
karawitan dipandang dari sisi antropologi, sosial, histori dan disiplin ilmu
yang lain, Supanggah melihat karawitan dari sisi pelaku, seniman, pengrawit, insider.
Sebenarnya
tulisan Supanggah mengenai garap ini, telah membuka beberapa mata peneliti yang
sering keliru dalam melihat sisi karawitan dan sering menjadikan hasil
penelitian tersebut menjadi salah arah. Pertimbangan garap yang begitu banyak,
sebenarnya sesuatu yang tidak disadari atau dengan kata lain, sebenarnya semua
hal yang dipaparkan oleh Supanggah adalah sesuatu yang sudah menjadi jiwa, kasarira, menjadi satu dan sudah tidak
lagi menjadi sesuatu yang harus dipikirkan secara detail, “serius” dan mendetail.
Semuanya dilalui para pengrawit dengan naluri mereka. Naluri-naluri pengrawit –
yang kebetulan Supanggah adalah seorang pengrawit pula – inilah yang kemudian
dicatat, disarikan, dipotret, serta melahirkan buku berjudul Garap. Sebenarnya setiap pengrawit mempunyai
intuisi untuk membukukan apa yang dia alami, tetapi seperti pendapat Supanggah
di depan bahwa menulis belum menjadi iklim yang bagus, tentu saja pengrawit
tidak memusingkan masalah itu karena mereka memang “murni” sebagai pelaku seni,
tidak memusingkan masalah tulis-menulis, itu tugas para peneliti, seniman
akademis(?).
Kemudian
apa yang dapat dikoreksi dari tulisan Supanggah ini, ketika dalam bukunya pun
ia mengeklaim bahwa tulisannya ini memang disengaja tidak diwadahi dalam frame
ilmiah. Ketidakilmiahan ini dapat diamati tatabahasa yang digunakan – tetapi
lebih dapat dimengerti – serta beberapa pendapatnya – dengan diterbitkannya
buku ini – yang tidak mencoba meruntuhkan teori-teori terdahulu, malah
berterimakasih kepada mereka yang telah membuka mata para akademisi di
Indonesia. Sisi “ketidakilmiahan” tulisan ini, kemudian memunculkan pertanyaan,
pada tingkat kelayakan, apakah memenuhi standart ilmiah bila digunakan sebagai
satu landasan, pondasi, teori, penelitian ilmiah dunia karawitan bahkan dapat
diaplikasikan pada aspek yang lebih luas?
Kedua,
tulisan Supanggah menggunakan pendekatan karawitan klasik, yang notabene berbasic “garap” kraton, meski secara
global batas-batas yang membedakan gaya kini sudah kian memudar, ketika konsep
tersebut diaplikasikan pada masa sekarang, dengan pertimbangan garap yang kian
komplek, lintas gaya, serta garap-garap klasik yang kian ditinggalkan, penulis
kira perlu ditinjau kembali, meski dasar-dasar karawitan sebenarnya terdapat
persamaan.
Sebagai
abstraksi kasus terakhir, terkait dengan
penggunaan notasi dalam karawitan. Notasi yang dahulu digunakan sebagai
pengingat serta dokumentasi tertulis, kini seolah diposisikan sebagai sesuatu
yang baku, yang mengarahkannya pada pemahaman bahwa notasi merupakan balungan
gending. Kini para pengrawit – terutama para pengrawit muda – tidak lagi
mendudukan balungan gending sebagai sesuatu yang harus ada, penafsiran
ditujukan pada notasi-notasi. Hal ini dapat disadari karena selain entitas
penyajian karawitan klasik yang semakin sedikit, para generasi sekarang tidak
perlu lagi hafal dengan balungan gending karena mereka ada rasa ketergantungan
dengan notasi, meskipun pada bentuk-bentuk gending tertentu tidak memerlukan
notasi karena selain sudah hafal, gending tersebut benar-benar telah kasarira.
Konsep balungan gending dan notasi gending mengalami kerancuan saat ini, untuk
itu perlu dilakukan tinjauan kembali mengenai konsep tersebut.
Buku
ini telah memaparkan secara gamblang konsep-konsep yang ada dan banyak sekali
dalam dunia karawitan. Bothekan II yang merupakan lanjutan buku Bothekan
Karawitan I, adalah bentuk kajian karawitan yang lebih menggunakan sisi pelaku
seninya sebagai pisau bedahnya. Untuk itu perlu dikemukakan kembali bahwa
penelitian-penelitian seperti ini menjadi penting kedepannya.